SEJARAH
PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN DINASTI UMAYYAH
A. Pendahuluan
Aku tidak akan
menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan
cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun
antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka
menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka
mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)[1]
Pernyataan di atas
cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang
politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar
melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni
berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya.[2]Baginya, politik adalah
senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni
berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Dinasti ini
dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang
Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang cukup
panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan
keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams
adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan Quraisy.
Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan.[3] Pertarungan mereka
berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah memilih salah
satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah
berada di sebrang kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara
mayoritas keturunan Hasyim berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung
utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk
memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini menjadi kekalahan telak
bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini, Muhammad menjadi penguasa
jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti, sementara keturunan Bani
Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi kelompok yang hina,
bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus mengikuti agama
Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkahtahun
10 H.
Kekalahan telak ini
menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh keturunan Umayyah,
sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah melakukan
berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa yang telah
dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil
membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya,
Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya
mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam
sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd
al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan
yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun,
sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami
kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan
sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti
Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II,
setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani
Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan
Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos
dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid
II.
1. B. Kelahiran
Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740)
Muawiyah ibn Abi
Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat sebagai
gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah keempat
Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas kematian
khalifah ketiga itu.[4]. Bahkan ia menyatakan
memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai
khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem)[5]. Pembaitan ini menjadi
cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama
dalam sejarah Islam yang memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah.
Mereka mendirikan negara di dalam Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi
ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat pemerintahan yang sah adalah kufah
di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali
pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan
diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah
secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia
lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan
kesepakatan damai[6] dengan kelompok
Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal
tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam
Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja,
yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[7]
Setelah kesepakatan
damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi
tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”[8]
Itulah salah satu
kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik
dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan
pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya
kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu
Sufyan.
Ada 14 khalifah
dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua keluarga, yaitu
keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin Abd Syams.
Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II.
Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar,
Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Hubungan
geneologis dinasti Umayyah digambarkan dalam pohon silsilah berikut ini.
Hubungan Geneologis
Raja-Raja Dinasti Umayyah.[10]
1. 1. Muawiyah
ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama lengkapnya Abu
Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya Hindun ibnt Rubai’ah ibnt Abd
Syam.[11] Sebagaimana
disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan
pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya
dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91
tahun. Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri Mu’awiyah
seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi tinimbang(dibandingkan
dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya,
nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa
untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya,
lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan,
yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya,
sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi,
membuatnya mampu menguasai keadaan.[12]
Pada masa
pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua wilayah utama,
yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di
Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat
Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib
Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal
di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan
wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad.[13]
Kesuksesan Muawiyah
ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya, yaitu Amr
ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn Abihi
(Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi andalan
Muawiyah.[14]
Selain ketiga orang
tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orang-orang Suriah. Mereka
masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka berhasil dicetak oleh
Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan terorganisir.[15]
Beberapa keberhasilan
Muawiyah selain perluasan daerah islam.
1. Pencipataan stabilitas nasional. Pada
masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali
letupan-letupan kecil saja.
2. Pendirian departemen pencatatan adiminstrasi
negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan
islam.
3. Pendirian pelayanan pos untuk
menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi
diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya
menggunakan kuda dan keledai.
4. Pembangunan departemen pemungutan pajak.
Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.[16]
Muawiyah meninggal
pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai
pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya. Ia telah membangun fondasi
kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya
dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
1. 2. Yazid ibn
Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya Yazid ibn
Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung
oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali
terjadi dalam sistem politik islam dan semakin mempertegas sebuah sistem
pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat
membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen
ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh
tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin
pemerintahan.[17]
Kecuali sedikit
penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak ada yang
menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya, terjadi dua
tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang
panglima Yazid yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan
pasukannya mencegat rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan
Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala
Husen diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa
ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah
mengumumkan pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai
pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok
Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid
menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.[18]
Yazid meninggal dunia
pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah
menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan islam.
3. Muawiyah
bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga
Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan
pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun
ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya
sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4. Marwan
ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat
menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia
memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena
mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin
yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu
kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn
Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan Madinah).
5. Abdul
Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M)
Setelah Yazid ibn
Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah
satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya
sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa,
apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid sakit-sakitan dan
mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64
sampai 73 H.
Di pihak Dinasti
Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang bernama Abdul
Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun penggantian ini belum
sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh karena itu, seteleh
Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul Malik resmi menjadi
khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap
sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu membangun
kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman raja Muawiyah
II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul
Muluk, karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai raja dinasti
Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada
masa Abdul al-Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata
uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan.
Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.[19]
6. Walid
ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai
seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan
bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid
Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid
Nabawi.[20]
Selain terkenal dengan
membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan
kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan Merovits,
Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima
besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki
Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil
menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn
Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan
Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah islam semakin
luas.[21]
Walid berkuasa sampai
tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal
dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada sampai sekarang.
Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.
7. Sulayman
ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M).
Sulayman diangkat oleh
ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan islam setelah Walid
mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah bersekongkol untuk
menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan menggantikannya dengan anaknya, yaitu
Yazid II. Namun Sulayman ternyata menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz
untuk menggantikanya[22]. Tidak banyak yang bisa
dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk
menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi
karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H/ 717 M.
8. Umar ibn
Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah
putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah
kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia
diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya
dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang.
Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja
yang sangat sederhana, adil dan jujur.[23] Karena kesholihannya,
ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai
pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa
pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan, namun banyak
perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan
semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh
saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan
tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang
tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.[24]
Pada masa
pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi
islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara
dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke daerah kekuasaan islam,
yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat dari
jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan
yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti
justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
9. Yazid
ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi pemerintahan
yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia
memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi hasrat
duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter khalifah kesembilan Dinasti
Umayyah ini.
Penguasa yang satu ini
terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada jamannya
berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis,
masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik.
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam
bin Abdul Malik.[25]
Yazid memerintah
selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya buruk dan diwarnai oleh adanya
konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat dalam
sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya kepemimpinan
dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10. Hisyam ibn Abdul Malik
(105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah khalifah
kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai salah satu
dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul
Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz.[26] Hiiti memasukannya
sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu
Sufyan dan Abdul Malik.[27] Hal ini karena pada
masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan
tanah-tanah yang mati.
Kami kurang sependapat
dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami tidak menemukan alasan atau data
yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak juga kami menemukan referensi
yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis lain bahwa selama hampir dua
puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah.[28] Hal ini disebabkan
banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan.
Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husen
sebagai refresentasi dari kelompok Syiah Zaidiyah dan seruan pembentukan
pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab
Selatan dan Arab Utara.[29]
11. Walid bin Yazid ibn Abdul
al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743 M)
Penerus Hisyam, Walid
bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan
keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat,
ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak
menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn
al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid
dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh
pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.
12. Yazid bin Walid atau
Yazid III (126 H/743 M)
Pada masa jabatannya,
pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun
sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un
setelah memerintah selama enam bulan.[30]
13. Ibrahim ibn al-Walid ibn
Abd al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah
selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu
khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah
semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh
Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II
yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus.
Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah
Jilid I.
14. Marwan ibn Muhammad ibn
Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M)
Setelah dibait sebagai
raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia
mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan
sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, malah menjadi
hancur.
Pada masa ini kekuatan
kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan keturunan
Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini berani
memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M, yang
dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun
pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum
Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748
M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan Marwan di sungai
Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada tahun ini pula,
tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober [31], as-Shaffah dibait menjadi
khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut kekuasaan
pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah. [32]
Dengan terbunuhnya
Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada salah
seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri dari
kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti Umayyah
jilid II di Andalusia.
D. Kemajuan Dinasti Umayyah
Al-Usairy menyebut
empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah.
1. Muawiyah seorang
sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik, yaitu tidak
mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali, namun tetap
ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah keempat
Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis
dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar Madinah, sementara
Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima khulafaur rasydin.
Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah, “Manusia terbaik adalah
manusia yang berada di masaku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi
setelah mereka.”
2. Dinasti Umayyah
selalu menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang memiliki sipat-sipat
utama.
3. Dinasti Umayyah
melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara dengan menguasai
negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah timur, Andalusia
(Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
4. Dinasti Umayyah
sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan
hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah
kekuasaan. [33].
Pernyataan Al-Usairy
patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan kempat bisa dipercaya
karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin pertama dan kedua,
tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau benar Umayyah
pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik yang digunakan
oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah lainnya. Oleh
karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang karena
dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang dima’shum,
kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti
Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para pembantunya tidak menghargai
kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang bisa ditundukan. Ulama-ulama
yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa ditundukan dikejar dan
dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah.[34]
Oleh karena itu kami
akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah, tanpa melihat cara mereka
mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
a)
Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari
Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai
Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil.
Pada masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali
Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah
menyentuh wilayah yang sangat luas.[35]
Mengenai kehebatan
ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis bahwa kaum muslimin telah
mampu mendirikan imperium mereka di bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah.
Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan Afrika Utara. Ekspansi itu tidak
saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh semangant imperialisme Arab.[36]
b)
Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya dengan
mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi pemerintahan.
c)
Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat pemerintahan.
1) Diwan
al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh
keuangan negara, termasuk mengumpulkan pendapatan pajak dan membagikannya untuk
masyarakat
2) Diwan
al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir semua
hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
3) Diwan
al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk membuat dan
memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
4) Diwan
al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan
berita-berita antara raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
5) Diwan
al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus
perkara
6) Diwan
al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan
bersenjata dan mengkordinirnya.
d)
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai monumen
dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid Muawiyah di
Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
e)
Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam yang
diberlakukan dalam transaksi perdagangan.
E. Penutup
Secara umum, Dinasti
Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar biasa. Era Dinasti
Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil membuktikanan kepada
dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan bersaing dengan dua
kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara moralitas
politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami kebobrokan
moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari khalifah-khalifah
Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik Rasulullah SAW. Kelak
kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan Dinasti Umayyah.
Daftar Pustaka
Al-Husairy, Ahmad.
2008. Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Diterjemahkan dariat-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman. Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana.
Amstrong, Karen.
2003. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh
Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan
dari The History of God oleh Zainul AM. Bandung: Mizan.
Dahlan, Syekh Ihsan
Muhammad. Sirojuttholibin . Darul Ihya al-Kutubul
al-Arabiyyah.
Hitti, Philip K. 2008.The
History of Arabs. Diterjemahkan dari The History of Arabs; From The
Earliest Times to The Present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Rahmat,
Jalaludin. 2002. Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis
Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press.
Tibrizi, E. Abdul
Aziz. Sejarah Kebudayaan Islam; Diktat II .Tangerang: Ponpes
Daarul el-Qalam.
Yatim, Badri.
1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ceceng abdullah
0 comments :
Post a Comment