Pati, NU Online
Pesantren warisan Rais Aam Syuriah PBNU Almaghfurlah KH MA Sahal Mahfudh meluncurkan ‘pesantren takhassus Ushul Fiqh’ di aula Pesantren Maslakul Huda (PMH) Putra Kajen-Margoyoso-Pati, Jawa Tengah).
Dua narasumber yaitu KH Aziz Yasin (sesepuh Kajen) dan Abdul Moqsith Ghozalie (dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) hadir pada peluncuran yang berlangsung Senin (12/1)tersebut.
Dalam sambutannya selaku pengasuh PMH Putra, KH Abdul Ghoffar Rozien mengatakan, pesantren ini akan menindaklanjuti gagasan dan warisan ide Kiai Sahal.
“Pesantren takhassus ini merupakan upaya untuk menggali pemikiran dan meneruskan ide Kiai Sahal tentang gagasan Fiqh Sosial. Saya berharap, pesantren takhassus ini mencetak para santri yang tidak hanya menguasai ilmu hukum Islam, dengan kepakaran di bidang fiqh dan ushul fiqh. Namun juga menjadi penggerak masyarakat,” harapnya.
Gus Rozien, sapaan akrabnya, menambahkan, pesantren ini dikhususkan bagi para santri yang sudah menguasai teks-teks keagamaan, namun membutuhkan pendalaman dalam memahami Fiqih dan Ushul Fiqh.
Sementara itu, Kiai Aziz Yasin mengaku sangat senang dengan hadirnya program takhasus ini. “Saya merasa senang sekali. Perasaan saya melambung dengan adanya pesantren takhasus ini,” ujar Kiai Aziz bangga.
Kiai Yasin kemudian mengisahkan tentang proses belajar dan perjuangan Kiai Sahal dalam mengembangkan gagasan Fiqh Sosial.
Pembicara lainnya, Abdul Muqsith Ghozalie, menegaskan bahwa pesantren takhassus menjadi pilihan penting di tengah tantangan keagamaan mutakhir. Bagi dia, gagasan Fiqh Kiai Sahal sungguh luar biasa.
“Beliau sudah memulai sejak dari pesantren, kemudian berlanjut di NU. Muktamar NU pada 1984 di Situbondo menjadi catatan sejarah tentang kiprah Kiai Sahal dalam mengembangkan gagasan fiqh sosialnya,” ungkap Moqsith.
Moqsith menambahkan, perjumpaan dirinya dengan Kiai Sahal ketika pendirian Ma’had Aly di Situbondo. “Waktu itu, Kiai Sahal bersama kiai-kiai lainnya, menjadi perumus pendirian Ma’had Aly di Pesantren Situbondo. Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi pendirinya, yang kemudian sistem pengelolaan dan kurikulum diserahkan kepada kiai-kiai PBNU,” paparnya.
Pesantren-pesantren, lanjut Moqsith, sudah saatnya merintis kajian spesifik. “Apa yang dilakukan oleh PMH sudang sangat tepat. Sekarang ini memang dibutuhkan pakar hukum Islam yang tidak hanya menguasai teks, namun juga mengerti konteks. Tak kalah penting, intelektual muda NU ini dapat merumuskan jawaban atas tantangan keagamaan masa kini,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)
dikutip dari website nu.or.id
Pesantren warisan Rais Aam Syuriah PBNU Almaghfurlah KH MA Sahal Mahfudh meluncurkan ‘pesantren takhassus Ushul Fiqh’ di aula Pesantren Maslakul Huda (PMH) Putra Kajen-Margoyoso-Pati, Jawa Tengah).
Dua narasumber yaitu KH Aziz Yasin (sesepuh Kajen) dan Abdul Moqsith Ghozalie (dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) hadir pada peluncuran yang berlangsung Senin (12/1)tersebut.
Dalam sambutannya selaku pengasuh PMH Putra, KH Abdul Ghoffar Rozien mengatakan, pesantren ini akan menindaklanjuti gagasan dan warisan ide Kiai Sahal.
“Pesantren takhassus ini merupakan upaya untuk menggali pemikiran dan meneruskan ide Kiai Sahal tentang gagasan Fiqh Sosial. Saya berharap, pesantren takhassus ini mencetak para santri yang tidak hanya menguasai ilmu hukum Islam, dengan kepakaran di bidang fiqh dan ushul fiqh. Namun juga menjadi penggerak masyarakat,” harapnya.
Gus Rozien, sapaan akrabnya, menambahkan, pesantren ini dikhususkan bagi para santri yang sudah menguasai teks-teks keagamaan, namun membutuhkan pendalaman dalam memahami Fiqih dan Ushul Fiqh.
Sementara itu, Kiai Aziz Yasin mengaku sangat senang dengan hadirnya program takhasus ini. “Saya merasa senang sekali. Perasaan saya melambung dengan adanya pesantren takhasus ini,” ujar Kiai Aziz bangga.
Kiai Yasin kemudian mengisahkan tentang proses belajar dan perjuangan Kiai Sahal dalam mengembangkan gagasan Fiqh Sosial.
Pembicara lainnya, Abdul Muqsith Ghozalie, menegaskan bahwa pesantren takhassus menjadi pilihan penting di tengah tantangan keagamaan mutakhir. Bagi dia, gagasan Fiqh Kiai Sahal sungguh luar biasa.
“Beliau sudah memulai sejak dari pesantren, kemudian berlanjut di NU. Muktamar NU pada 1984 di Situbondo menjadi catatan sejarah tentang kiprah Kiai Sahal dalam mengembangkan gagasan fiqh sosialnya,” ungkap Moqsith.
Moqsith menambahkan, perjumpaan dirinya dengan Kiai Sahal ketika pendirian Ma’had Aly di Situbondo. “Waktu itu, Kiai Sahal bersama kiai-kiai lainnya, menjadi perumus pendirian Ma’had Aly di Pesantren Situbondo. Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi pendirinya, yang kemudian sistem pengelolaan dan kurikulum diserahkan kepada kiai-kiai PBNU,” paparnya.
Pesantren-pesantren, lanjut Moqsith, sudah saatnya merintis kajian spesifik. “Apa yang dilakukan oleh PMH sudang sangat tepat. Sekarang ini memang dibutuhkan pakar hukum Islam yang tidak hanya menguasai teks, namun juga mengerti konteks. Tak kalah penting, intelektual muda NU ini dapat merumuskan jawaban atas tantangan keagamaan masa kini,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)
dikutip dari website nu.or.id
0 comments :
Post a Comment