Menag: Rabithah Alawiyah Miliki Sumbangsih Luar Biasa Bagi Perkembangan Islam Indonesia
Menag Lukman Hakim Saifuddin Hadiri Muktamar ke-24 Rabithah Alawiyah. (foto:romadanyl).
Jakarta (Pinmas) --Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin mengatakan, Rabithah Alawiyah yang didirikan dua bulan setelah
peristiwa Sumpah Pemuda tepatnya tanggal 27 Desember 1928 merupakan
salah satu ormas Islam yang memiliki sumbangsih yang luar biasa bagi
perkembangan Islam di Indonesia.
"Keberadaan Rabithah Alawiyah
berdiri tidak hanya untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai Islam di
dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia ketika belum merdeka,
akan tetapi juga turut menjaga landasan semangat kebangsaan masyarakat
dapat tetap lestari yang pada akhirnya mewarnai corak keislaman bangsa
Indonesia," demikian disampaikan Menag saat menghadiri Muktamar Nasional
Rabithah Alawiyah ke-24 di Jakarta, Minggu (7/8).
Muktamar
diikuti oleh Dewan Pengurus Pusat, Dewan Pengawas, Dewan Penasehat,
Pengurus Maktab Daimi, Cabang-cabang Rabithah Alawiyah, Perwakilan
Rabithah Alawiyah wilayah, Utusan Daerah, Peninjau dan Tokoh Masyarakat
diselenggarakan sejak tanggal 5 dan akan berakhir pada 8 Agustus 2016
Dikatakan
Menag, Bani Alawi sangat kuat dalam menjaga tradisi, sehingga cara
transformasi pengembangan nilai-nilai ajaran Islam sangat diperhatikan
dengan serius, bagi Bani Alawi, sanad tidak bisa diabaikan keberadaannya
begitu saja.
Menag dalam kesempatan mengatakan, di era
globalisasi dan digitalisasi dengan perkembangan media sosial dan
revolusi teknologi informasi begitu pesat, tantangan yang dihadapi umat
Islam saat ini adalah bagaimana corak Islamdi Indonesia
sejakberpuluh-puluh tahun yang lalu dapat dipertahankan keberadaannya.
Terlebih dengan maraknya paham-paham yang tidak sesuai dengan jati diri
bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, pada Muktamar Rabithah Alawiyah ke-24 ini, Menag menitipkan pesan: Pertama, Islam rahmatan lil alamin yang telah berkembang dengan baik di Indonesia harus senantiasa diperlihara dan dijaga. Kedua,
menghadapi maraknya ajaran-ajaran Aswaja dan paham-paham lain, kita
tidak boleh antipati akan tetapi harus mengembangkan cara yang lebih
efektif agar umat mendapat pencerahan yang sesungguhnya.
Pesan
Menag Ketiga, salah satu cara menghadapi paham-paham radikal yang
berkembang di masyarakat melalui menggunakan multi media secara efektif.
Terlebih generasi muda saat ini lebih akrab dengan multi media.
"Oleh karenanya, kegiatan dakwah hendaknya mulai dikembangkan melalui pemnafaatan multi media," ujar Menag.
Keempat, menurut
Menag, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia selain paham keagamaan
adalah pengembangan ekonomi umat. Terlebih, Rabithah Alawiyah didirikan
karena semangat untuk memberdayakan dan melakukan penguatan ekonomi
umat.
Pada kesempatan tersebut Menag juga menyampaikan apresiasi
yang tinggi kepada para habaib karena dinilai sangat membantu dalam
menjalankan salah satu misi Kementerian Agama di antaranya,
penyelenggaraan ibadah haji.
"Kami (Kemenag-red) dapat
menyelenggarakan ibadah haji dengan baik berkat bantuan para habaib yang
ikut menjalin komunikasi dengan pihak Arab Saudi, sehingga Indonesia di
mata Arab Saudi selalu harum namanya," ujar Menag. (didah/dm/dm).
Motivasi
Jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh
di air, maka angkat dan tolonglah...barangkali itu menjadi penyebab
ampunan bagimu di akherat.
Jika
engkau menjumpai batu kecil di jalan yang bisa menggangu jalannya kaum
muslimin, maka singkirkanlah, barangkali itu menjadi penyebab
dimudahkannya jalanmu menuju syurga.
Jika engkau menjumpai anak ayam terpisah dari induknya, maka ambil dan
susulkan ia dengan induknya, semoga itu menjadi penyebab Allah
mengumpulkan dirimu dan keluargamu di surga.
Jika engkau melihat
orang tua membutuhkan tumpangan, maka antarkanlah ia...barangkali itu
mejadi sebab kelapangan rezekimu di dunia.
Jika engkau bukanlah
seorang yang mengusai banyak ilmu agama, maka ajarkanlah alif ba' ta'
kepada anak2 mu, setidaknya itu menjadi amal jariyah untukmu..yang tak
akan terputus pahalanya meski engkau berada di alam kuburmu.
JIKA
ENGKAU TIDAK BISA BERBUAT KEBAIKAN SAMA SEKALI, MAKA TAHANLAH TANGAN
DAN LISANMU DARI MENYAKITI....SETIDAKNYA ITU MENJADI SEDEKAH UNTUK
DIRIMU.
Al-Imam Ibnul Mubarak Rahimahullah berkata:
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
“Berapa banyak amalan kecil, akan tetapi menjadi besar karena niat
pelakunya. Dan berapa banyak amalan besar, menjadi kecil karena niat
pelakunya”
Jangan pernah meremehkan kebaikan, bisa jadi seseorang
itu masuk surga bukan karena puasa sunnahnya, bukan karena panjang
shalat malamnya tapi bisa jadi karena akhlak baiknya dan sabarnya ia
ketika musibah datang melanda
Rasulullah bersabda:
« لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ ».
“Jangan sekali-kali kamu meremehkan kebaikan sedikitpun, meskipun
(hanya)bertemu dengan saudaramu dalam keadaan tersenyum".(HR. Muslim)
Mari Akhiri hari ini dg Pikiran dan prilaku positif, semangat meraih
hasil terbaik serta saling mendoakan akan keberkahan.. Aamiin...
SERI SEMBARANG KALIR #1 =======================
“Sandiwara” Mbah Bisri
Ini adalah kisah yang menarik tentang Mbah Bisri Mustofa, ayahanda dari Gus Mus.
Mbah Bisri mungkin bisa disebut sebagai kiai NU yang paling produktif
menulis kitab dalam bahasa Jawa. Ada lebih dari seratus karangan –besar
dan kecil—yang lahir-deras dari tangan beliau. Beberapa di antaranya
masih populer hingga sekarang, salah satunya adalah tarjemahan trilogi
kitab penting di pesantren yang berkenaan dengan tata bahasa Arab:
Jurumiyyah, ‘Imrithi dan Alfiyyah.
Tetapi, tentu saja, yang
paling populer hingga sekarang dan masih dibaca oleh masyarakat Jawa di
kawasan pantura adalah tafsir berbahasa Jawa berjudul Al-Ibriz. Dalam
kepustakaan berbahasa Arab, kita kenal karya tafsir yang bisa disebut
paling populer di dunia Islam, yaitu Tafsir Jalalain. Tafsir Al-Ibriz
yang ditulis oleh Mbah Bisri boleh kita sebut sebagai Jalalain-nya
masyarakat Muslim Jawa.
Saya mendengar banyak sekali kisah-kisah
yang menarik tentang “proses kreatif” dan aktivitas kepengarangan Mbah
Bisri melalui Gus Mus. Salah satunya berkenaan dengan masa-masa awal
Mbah Bisri menjadi pengarang, jauh sebelum melesat menjadi mu’allif Jawa
yang populer. Inilah kisah yang saya dengar dari Gus Mus.
Suatu
waktu, Mbah Bisri menyelesaikan naskah, dan ingin menawarkannya kepada
sebuah penerbit yang lumayan terkenal pada zaman itu (sekitar tahun
50an), Penerbit Salim Nabhan, di Surabaya.
Berangkatlah beliau
dari Rembang ke Surabaya dengan kendaraan umum. Saat bertemu dengan
Salim Nabhan, seorang keturunan Arab yang menjadi pemilik penerbit itu,
Mbah Bisri mencoba menyamarkan diri dengan menyembunyikan nama aslinya.
Kepada Salim Nabhan, beliau mengaku bernama Masyhadi.
Sebetulnya
nama Masyhadi bukan nama yang beliau karang-karang sendiri. Ini adalah
nama Mbah Bisri saat masih kecil sebelum belakangan diganti oleh guru
beliau, Kiai Kholil Kasingan. Tradisi mengganti nama kecil saat seorang
anak telah dewasa sangat umum di masyarakat Jawa. Mungkin bagian dari
“les rites de passage”, perayaan memasuki usia dewasa.
Kenapa
Mbah Bisri menyembunyikan nama aslinya, kurang terlalu jelas. Mungkin
ini strategi beliau untuk “memasarkan” karyanya kepada penerbit. Lalu
terjadilah percakapan berikut ini.
“Nama saya Masyhadi,” kata
Mbah Bisri yang “menyamar” sebagai Masyhadi itu. “Saya diutus oleh Kiai
Bisri Mustofa Rembang untuk menawarkan naskah ini. Barangkali Bapak
tertarik.” Lalu Mbah Bisri menyodorkan naskah karangannya itu kepada
Salim Nabhan.
Pak Nabhan menelaah naskah itu beberapa saat.
Instink bisnisnya mengatakan, karya itu tampaknya akan cukup laku. Lalu,
“Dihargai berapa naskah ini?” tanya Pak Nabhan.
“Kata Kiai
Bisri, sepuluh ribu rupiah,” jawab Masyhadi alias Mbah Bisri. Tentu saja
Pak Nabhan tak menerima begitu saja penawaran itu. Kata dia: “Bagaimana
kalau saya tawar delapan ribu rupiah saja?”
Mbah Bisri menjawab: “Wah, saya ndak berani memutuskan sendiri, Pak Nabhan. Saya harus tanya kepada kiai saya.”
“Ya sudah, tanya sana kepada kiaimu,” kata Pak Nabhan.
Mbah Bisri tidak segera berlalu. Beliau pura-pura panik dan agak
bingung. “Lho, ada apa, Masyhadi?” tanya Pak Nabhan. “Anu, Pak Nabhan,
tadi saya berangkat dari Rembang ke sini cuma diberikan ongkos sekali
jalan saja oleh Kiai Bisri,” jawab Masyhadi. “Ya sudah, ini saya kasih
ongkos pulang ke Rembang,” kata Pak Nabhan, sambil menyerahkan beberapa
lembar uang. Mungkin agak sedikit kesal. Ini jual naskah, malah minta
ongkos! Hehehe...
Masyhadi alias Mbah Bisri berlalu dari ruang
tamu Pak Nabhan, pamitan, sambil “uluk salam”. Alih-alih pulang ke
Rembang, Mbah Bisri malah bertolak menuju Kediri, dengan “sangu” dari
Pak Nabhan. Di sana, dia hendak mengunjungi seorang teman yang pernah
sama-sama “nyantri” kepada Kiai Kholil Kasingan, Rembang.
Temannya itu bernama Kiai Mahrus Ali Lirboyo, Kediri. Kiai Mahrus pernah
menjabat sebagai Mustasyar PBNU setelah Muktamar NU ke-27 pada 1984.
Mbah Bisri menginap di sana, ngiras-ngirus (sekaligus) reuni-an dengan
“class-mate”-nya waktu di pesantren. Esok harinya, Mbah Bisri bertolak kembali ke Surabaya untuk menemui Salim Nabhan.
“Kata Mbah Bisiri, monggo mawon, jika naskah ini mau dibeli seharga
delapan ribu,” kata Mbah Bisri. Lalu Pak Nabhan menyerahkan harga naskah
itu kepada Mbah Bisri. Dan pulanglah Mbah Bisri dengan membawa uang
delapan ribu, plus “susuk” (kelebihan) ongkos Surabaya-Rembang dari
Salim Nabhan yang ternyata hanya beliau gunakan untuk transportasi
Surabaya-Kediri.
Strategi “marketing” yang cerdik, hehehe…
Begitulah, Masyhadi alias Mbah Bisri berkali-kali menawarkan naskah ke
Salim Nabhan. Karena cukup laku, semua naskah yang ditawarkan oleh Mbah
Bisri melalui kurir bernama “Masyhadi” yang tak lain adalah dirinya
sendiri itu tak pernah ditolak oleh si penerbit.
Hingga suatu
saat si empunya penerbit merasa berkewajban secara moral untuk
mengunjungi “ndalem” (rumah) Kiai Mustofa Bisri di Rembang -- kiai yang
karya-karyanya telah banyak ia terbitkan dan mendatangkan keuntungan
itu.
Niat itu ia kabarkan kepada Masyhadi. Tentu saja yang
terakhir ini agak panik mendengar niat Pak Salim Nabhan itu. Cemas jika
penyamarannya terbongkar. Masyhadi mencoba cari akal. Selama ini, setiap
pergi ke Surabaya, dia sengaja memakai pakaian biasa. Pakaian santri.
Bukan pakaian kiai. Untuk menutupi identitas dirinya, Masyhadi mencoba
memakai sorban yang agak besar, supaya kelihatan benar-benar seperti
kiai.
Saat bertamu ke Rembang dan berjumpa dengan Kiai Bisri
Mustofa, Pak Nabhan tak menaruh curiga apapun. Tetapi setelah ngobrol
ngalor-ngidul beberapa saat, dia akhirnya merasakan hal yang janggal.
“Orang ini kok seperti Masyhadi yang selama ini menemui saya di Surabaya
ya,” kata Pak Nabhan dalam hati. Dia tak berani mengemukakan
keragu-raguan ini secara terus terang kepada Mbah Bisri. Tapi,
lama-lama, ia tak bisa menahan.
“Sebentar, njenengan ini kok seperti Masyhadi ya, Kiai Bisri?” tanya Pak Nabhan.
Merasa penyamarannya sudah “kedarung” (terlanjur) terbongkar, akhirnya
Mbah Bisri mengaku bahwa, ya, Masyhadi itu memang dia sendiri.
Bukan marah, Pak Nabhan malah tertawa terpingkal-pingkal mendengar
pengakuan Mbah Bisri itu. Lalu, terjalinlah hubungan yang kian akrab
antara kedua orang itu.
Naskah-naskah Mbah Bisri terus
ditebitkan oleh Salim Nabhan, hingga akhirnya beliau, karena satu dan
lain hal, memutuskan untuk menyerahkan karya-karyanya kepada penerbit
lain: Penerbit Menara Kudus.[]
Catatan: Kiai Bisri Mustofa adalah ayahanda Gus Mus. Nama Gus Mus sendiri adalah Mustofa Bisri. Jangan tertukar-tukar. :)
Jakarta, 22 Juli 2016
SERI SEMBARANGKALIR #2 =======================
Tahlil sebagai penangkal fundamentalisme
Di kalangan nahdliyyin, salah satu ritus yang paling populer adalah apa
yang disebut dengan tahlil. Secara harafiah, arti tahlil sebetulnya
sangat sederhana -- membaca la ilaha illa-l-Lah (tiada Tuhan kecuali
Allah). Dalam perkembangannya, apalagi dalam konteks Indonesia, istilah
ini memiliki makna yang tak sederhana lagi. Tahlil menjadi “cultural
marker”, merek/ciri khas budaya.
Bahkan, saya bisa mengatakan
lebih jauh lagi. Tahlil telah menjadi semacam “way of life”, cara hidup,
juga cara berpikir. Tahlil juga membentuk kosmologi, cara pandang
tertentu terhadap kosmos, alam raya, sejarah, masyarakat, dsb.
Dengan kata lain, tahlil telah mengalami metamorfosa dari hal yang amat
sederhana, mambaca la ilaha illa-l-Lah, menjadi sesuatu yang sangat
serius. Bahkan ada yang mau membikin sebuah partai bernama HTI: Hizbut
Tahlil Indonesia. Untuk yang terakhir ini, saya sedang nge-joke saja.
Hehehe…
Dalam catatan ini, saya tak ingin melakukan pembelaan
atas tahlil dari serangan kelompok-kelompok yang anti-tahlil. Sudah
banyak buku mengenai ini ditulis, terutama oleh para kiai NU. Yang akan
saya lakukan di sini adalah semacam telaah fenomenologis atas tahlil,
agar kelihatan lebih keren sedikit.
Saya sendiri adalah pengamal
dan pelaku tahlil. Tetapi dalam tulisan ini, saya akan mencoba
melakukan tindakan “penjarakan-diri”, dan menjadi pengamat tahlil. Saya
akan mencoba memahami ritus sosial ini secara berjarak, dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi.
Yang saya maksud dengan
pendekatan fenomenologi di sini adalah: melihat fenomena, masuk ke
dalamnya, dan mencoba memahami bagaimana fenomena itu bekerja dari
dalam, seraya kita tetap bersikap sebagai pengamat yang berjarak.
Seorang fenomenolog, seberapa dekatpun berusaha “memeluk” obyek
amatannya, dia tetaplah (atau seharusnya tetap menjadi) orang luar. Dia
bukan orang dalam. Dia pendatang dalam pentas sosial yang sedang ia
amati.
Oke, saya akan mulai melakukan “fenomenologisasi” atas tahlil. Semoga berhasil. Bismillah.
Bagi saya, unsur yang paling penting dalam tahlil bukan pelafalan
kalimat syahadat, atau makanan yang dihidangkan kepada para jamaah yang
sedang melakukan ritus ini, ataupun kegiatan “jagongan” (ngobrol) yang
biasa terjadi setelah ritus ini usai. Semua itu tentu merupakan
elemen-elemen yang penting dalam tahlil, terutama dalam kerangka
merekatkan hubungan-hubungan sosial.
Bagi saya, elemen yang
paling penting dalam tahlil adalah memori, ingatan. Tahlil adalah ritus
sosial yang fondasi utamanya adalah “mengingat”. Ingatan ini terarah
kepada hal yang terjadi pada masa yang telah lewat. Ingatan itu
ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal.
Dengan kata
lain, tahlil pada dasarnya adalah “memorizing the absent”, mengingat
sesuatu yang tak ada pada saat ini. Atau, lebih abstrak lagi, dia adalah
“memorizing the absence”, mengingat ketiadaan. Mengirimkan doa dalam
ritus tahlil kepada orang-orang yang sudah meninggal memiliki makna yang
penting. Ia bukan sekedar berbuat baik kepada orang-orang yang sudah
mati, tetapi mengingat sesuatu yang terjadi pada masa lampau.
Ingatan ini bak sebuah lingkaran yang bergerak terus-menerus, makin
melebar, seperti riak air. Ingatan itu bermula dari keluarga dekat.
Karena itu, doa tahlil dihadiahkan kepada orang-orang dekat yang telah
wafat. Tetapi doa tahlil juga mencakup sesuatu yang lebih besar dari
itu: yakni doa buat orang-orang lain dari masa lampau yang jauh -- dari
generasi kakek-nenek, mundur ke belakang terus, hingga ke generasi para
sahabat dan Nabi.
Doa tahlil juga ditujukan kepada para wali,
para orang saleh, para pejuang yang telah meninggal di masa lampau yang
jauh sekali.
Dalam konstruksi seperti ini, tahlil adalah semacam
imajinasi tentang masa lampau, bayangan tentang sejarah yang menjulur
jauh ke belakang. Ada rasa kesejarahan dalam tindakan tahlil. “Sense of
historicity”. Ada rasa bahwa kita yang hidup di masa kini bukan sekedar
insiden kecil yang terisolasi dan sendirian. Kita adalah bagian dari
sebuah silsilah panjang yang menjangkau ke masa silam yang jauh.
Karena itu, bagi saya, merawat kuburan bukanlah tindakan “klenik”
(meski, jika salah niat, bisa juga terjatuh ke sana!), apalagi “syirik.
Dia memiliki makna yang sangat penting: yaitu usaha untuk merawat
ingatan tentang masa lampau, menjaga silsilah, mempertahankan rasa
sejarah.
Tak heran, jika kelompok tertentu dalam Islam yang
anti-tahlil, yaitu kaum Wahabi, memiliki kecenderungan anti-sejarah.
Tindakan kaum Wahabi yang membenci kuburan ternyata tidak berhenti di
sana saja, tetapi juga berakibat sangat fatal – menghancurkan
situs-situs sejarah. Penghancuran tempat-tempat bersejarah di Saudi
Arabia saat ini, termasuk situs-situs yang berkenaan dengan Nabi dan
keluarganya, anda percaya atau tidak, berasal dari hal yang sederhana:
keyakinan kaum Wahabi yang anti-tahlil, anti-ziarah kubur, dan
anti-kuburan.
Ketika kaum Taliban di Afghanistan menghancurkan
patung Buddha yang sangat bersejarah di Bamiyan –tindakan yang
menimbulkan kemarahan dunia,-- kita bisa mendeteksi pengaruh Wahabi di
sana. Kaum Taliban memang pengikut paham Wahabi yang anti-kuburan.
Karena itu, tak heran, jika mereka melakukan tindakan ikonoklasme
seperti itu. Ikonoklasme maksudnya: menghancurkan patung-patung.
Ketika ISIS di Irak dan Syria melakukan serangkaian penghancuran atas
situs-situs bersejarah di sana, sebetulnya mereka hanya mengikuti saja
teladan yang dilakukan oleh kaum Wahabi sebelumnya. Kelompok Muslim
pengamal tahlil sudah pasti tak akan melakukan tindakan-tindakan bodoh
semacam ini.
Saya, di sini, tidak sedang membangun semacam
aksioma matematik yang bersifat pasti: bahwa yang anti-tahlil dengan
sendirinya anti situs-situs sejarah. Bukan. Yang mau saya katakan adalah
ada kecenderungan kuat dalam kaum Wahabi yang anti-tahlil itu kepada
historisida -- pemusnahan sejarah. Sebab menghargai situs-situs sejarah
dianggap identik dengan kegiatan mempersekutukan Tuhan, syirik.
Penghargaan, menurut mereka, hanya layak ditujukan kepada Allah saja.
Bukan kepada obyek lain.
Dengan pembacaan semacam ini, sebetulnya
apa yang kita kira adalah tindakan sederhana, yaitu mendoakan orang
mati melalui tahlil, ternyata memiliki implikasi sosial dan
“civilizational” yang sangat serius.
Tahlil, dengan kata lain,
bukan hal yang main-main. Dia adalah tindakan ritual yang membentuk
sikap-sikap sosial yang sangat kita butuhkan saat ini, di zaman ketika
fundamentalisme agama meruyak di dunia Islam. Sikap-sikap itu mencakup
banyak hal: menghargai sejarah, menghargai kebudayaan lokal, menghargai
kesenian, tak gampang mengkafirkan, tak gampang menuduh syirik,
toleransi, dsb.
Mungkin tahlil adalah salah satu obat penangkal
fundamentalisme. Mungkin. Sebab, saya jarang melihat pengamal tahlil
yang ikut dalam gerakan-gerakan keagamaan fundamentalistik.
Jadi, mari bertahlil!***
Penulis adalah pengamal dan pengamat tahlil.
kerna, setidaknya menurutku.., menarik untuk disimak... maka kuhadirkan secara terbuka di Sini...
Ketika Cak Nur "Mampir" di Kampung Saya
Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Mungkin banyak yang mengira saya mulai mengembangkan pendekatan liberal
dalam memahami Islam sejak sekolah di Amerika. Dugaan ini keliru sama
sekali. Saya sudah mencicil liberalisme pemikiran sejak awal, saat saya
masih belajar di sebuah pesantren kecil di desa Cebolek, Pati. Dan itu
bertaut dengan figur besar yang baru bertahun-tahun kemudian bisa saya
jumpai secara pribadi. Yakni Nurcholish Madjid aka Cak Nur.
Ini
semua bermula pada 1984. Itu tahun penting dalam formasi pemikiran saya.
Pada tahun itu sebuah event penting berlangsung di Situbondo, Jawa
Timur. Yaitu Muktamar NU ke-27. Muktamar ini bukan saja menjadi “turning
point” dalam sejarah NU sebagai sebuah kelompok sosial. Tetapi juga
bagi saya secara pribadi.
Di muktamar inilah sosok besar yang
sangat mempengaruhi formasi pemikiran saya, yaitu Abdurrahman Wahid aka
Gus Dur, terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Peristiwa ini dielu-elukan
sebagai “defining moment” dalam sejarah NU. Gus Dur dianggap sosok muda
yang membawa angin segar bagi NU.
Figur Gus Dur sudah mulai ramai
dibicarakan sejak beberapa tahun sebelumnya. Sejak 1983, saat saya
masih duduk di Madrasah Aliyah Mathaliul Falah Kajen, Pati, saya sudah
mulai mengikuti dengan penuh minat pemikiran dan pernyataan Gus Dur,
baik di koran maupun di majalah. Akses saya ke Gus Dur saat itu adalah
melalui Kompas, Tempo dan Jurnal Prisma.
Ketertarikan saya pada
Gus Dur membawa saya berkenalan juga dengan pemikiran-pemikiran
intelektual Muslim lain seperti Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi,
Jalaludddin Rakhmat, dll. Dengan penuh antusiasme, saya memburu setiap
yang ditulis atau dikatakan oleh Gus Dur dan Cak Nur di media massa.
Saya tak pernah lupa laporan utama yang ditulis oleh Majalah Tempo
tentang kiprah dan pemikiran Cak Nur. Judul laporan itu: Lokomotif
Pembaharuan Islam. Kalau tak salah, edisi itu keluar pada 1984, beberapa
saat setelah Cak Nur kembali ke tanah air setelah sekian tahun belajar
di University of Chicago. Salah satu bagian dalam laporan itu yang terus
menempel dalam ingatan saya hingga sekarang adalah foto Cak Nur di
kediaman pribadinya, dikepung dengan ribuan buku dan kitab.
Sebagai anak kampung dari keluarga miskin, saya takjub bukan main:
Bagaimana memiliki koleksi buku dan kitab sebanyak itu? Berapa biaya
yang dibutuhkan? Tak ada perpustakaan yang memadai di sekolah saya saat
itu.
Laporan Tempo itu langsung mendapatkan tanggapan pro-kontra.
Ada polemik yang cukup panjang di sana yang melibatkan sejumlah
pemikir/penulis. Ada Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Gus Dur, Jalaluddin
Rakhmat, Daoed Joesoef, dan Cak Nur sendiri. Saya sangat menikmati
polemik itu.
Saya foto kopi seluruh kolom para penulis yang
terlibat dalam polemik. Saya simpan. Saya baca berulang-ulang. Saya
butuh membacanya berkali-kali sebelum mengerti benar maksud para
penulisnya. Nalar saya saat itu masih terlalu sederhana untuk bisa
memahami kompleksitas pemikiran pembaharuan Islam.
Usai
menamatkan pendidikan di madrasah Aliyah, saya diminta mengajar di
sebuah sekolah di desa saya. Saya menerima gaji pertama sebagai guru
desa pada 1985 sebesar Rp. 12.500. Hal pertama yang saya lakukan usai
menerima uang yang tak seberapa itu adalah bertolak ke kota Pati. Saya
pergi ke Toko Buku Puas milik seorang pedagang Arab.
Ada satu
buku yang saya incar: Khazanah Intelektual Islam terbitan Bulan Bintang,
penerbit yang mewarisi sejarah Masyumi. Buku itu disunting oleh Cak
Nur. Ia menulis sebuah pengantar yang sangat panjang di sana mengenai
asal-usul sekte Ahlussunnah wal Jamaah, tentang kemajuan peradaban Islam
di masa lampau, serta sebab-sebab keruntuhannya. Tulisan itu
benar-benar seperti percikan api yang membakar rasa ingin tahu saya.
Sekaligus juga membuka mata saya.
Buku itu masih saya simpan
hingga sekarang untuk mengenang momen yang sangat bersejarah: momen
ketika saya merasa terbuka dan mengalami fase “akil balig intelektual”.
Katakan saja: A Buddha moment!
Pada 1984, ada peristiwa lain yang
selalu saya kenang. Itulah tahun ketika Jurnal Prisma menerbitkan edisi
khusus mengenai pemikiran Islam. Gus Dur, Cak Nur, Amin Rais, Awad
Bahasoan, Arif Mudatsir, dll. menulis di sana. Ada juga wawancara dengan
Syafii Maarif. Saya mendapatkan edisi ini berkat pinjaman guru saya di
madrasah Aliyah yang, kebetulan, menjadi pelanggan tetap Jurnal Prisma.
Sejak berkenalan dengan pemikiran Cak Nur dan Gus Dur itu, saya seperti
masuk dalam sebuah tualang pemikiran yang tak mungkin balik lagi. Saya
seperti pelaut yang dengan penuh gelora berlayar di samudera luas:
samudera pemikiran Islam yang luar biasa kaya dan memikat. Semua itu
dimungkinkan gara-gara saya berkenalan dengan Cak Nur.
Andai Cak
Nur tak “mampir” di kampung saya melalui Tempo, Kompas, dan Jurnal
Prisma, mungkin jalan hidup saya akan lain sama sekali. Saya merasa
bersyukur bahwa dalam hidup ini saya pernah berkenalan dengan dua
pendekar pemikiran Islam yang luar biasa: Gus Dur dan Cak Nur.
Saat lebaran dua tahun lalu saya berkunjung ke rumah Cak Nur. Saya
langsung minta izin kepada isteri Cak Nur, Mbak Omi, untuk menjenguk
koleksi buku-bukunya. Saya ingin melihat “first hand” koleksi buku yang
dulu pernah nongol di majalah Tempo dan memukau saya sebagai santri
desa. Melihat buku-buku Cak Nur di ruangan perpustakaan pribadinya itu,
saya seperti mengalami déjà vu. Saya mengalami “excitement” yang luar
biasa.
Cak Nur wafat persis sehari sebelum saya berangkat kuliah
ke Boston pada 29 Agustus 2005. Hari ini adalah haul ke-10 tokoh yang
saya kagumi itu. Saya merasa bangga pernah bertemu dan berkenalan dengan
tokoh besar ini. Dia adalah “game changer” dalam hidup saya. Alfatihah…
SERI SEMBARANGKALIR #3 =======================
Hujjatul Islam: Tentang dua jenis Imam Ghazali
Imam Ghazali yang dikenal di dunia Islam sebagai “hujjatul Islam” itu
(dan dialah satu-satunya ulama yang menyandang gelar ini di era klasik)
adalah sosok yang menarik sekali. Imam Ghazali digelari demikian,
mungkin, karena dialah yang menangkis argumen-argumen para filosof,
terutama Ibn Sina (w. 1037) dan Al-Farabi (w. 950). Dalam pandangan Imam
Ghazali, argumen kaum filosof yang mencoba mendamaikan wahyu dan
filsafat mengandung bahaya tersembunyi – membahayakan integritas akidah
Islam ala ahlussunnah wal jamaah.
Karena dianggap berjasa untuk
menyelamatkan akidah Sunni dari bahaya pendekatan filsafat, maka dia
mendapat “jejuluk” (gelar) hujjatul Islam. Gelar itu artinya: argumennya
Islam. Tepatnya: argumen Islam ala Sunni. Sebab Islam ala Syiah tidak
memiliki persoalan yang terlalu besar dengan pendekatan filsafat.
Saya tak ingin mengulas jasa-jasa Imam Ghazali di sini. Yang saya mau
perlihatkan di esai ini adalah sebuah fakta yang menarik yang saya yakin
kurang disadari oleh kalangan Islam sendiri, termasuk kalangan
pesantren NU yang menjadikan Imam Ghazali sebagai tokoh-idola. Kita
tahu, NU bahkan menjadikan sosok Imam Ghazali sebagai kiblat penting
dalam bertasawuf.
Fakta itu ialah sebagai berikut. Meskipun Imam
Ghazali dikenal sebagai hujjatul Islam, tetapi karya-karya yang
menyebabkan dia mendapatkan gelar ini justru jarang, atau malah sama
sekali tak dibaca di lingkungan madrasah-madrasah Islam, baik di
Indonesia atau di dunia lain. Karya-karya Imam Ghazali yang paling luas
dibaca adalah yang bertaut dengan tema-tema tasawuf. Sebut saja
kitab-kitab berikut ini: Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidin, dan (ini
yang paling populer dari segala yang populer) Ihya Ulum al-Din.
Karya-karya Imam Ghazali yang berisi polemik terhadap para filosof sama
sekali tidak, atau jarang dibaca. Misalnya: Maqasid al-Falasifah dan
Tahafut al-Falasifah. Padahal gara-gara karya-karya inilah dia mendapat
gelar hujjatul Islam. Dengan kata lain, sosok ini digelari hujjatul
Islam, tetapi gagasan-gagasannya yang berkait dengan gelar ini justru
diabaikan.
Bukan hanya itu. Karya-karya Imam Ghazali tentang
tasawuf yang memakai pendekatan filsafatpun juga jarang dibaca di
lingkungan “Islamic seminaries”. Misalnya: Misykat al-Anwar, Kimiya’
al-Sa’adah dan (meskipun para sarjana masih meragukan penisbahan karya
ini kepada Al-Ghazali) Ma’arij al-Quds.
Imam Ghazali memang
bergerak dan mendayung di antara dua dunia dan “kombak-kambek” (=pulang
pergi) antara keduanya. Di satu sisi, dia mendekati tasawuf dengan
pendekatan tradisional, dengan pendekatan “tasawuf suluki” (sebut saja
“ethical mysticism”). Ini terlihat dalam tiga kitab utama: Bidayat
al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, dan Ihya’ Ulum al-Din. Tekanan di sini
adalah pada praktek tasawuf sebagai sarana praktis untuk taqarrub
(mendekat) kepada Allah melalui ibadah dan pembersihan hati (tazkiyah).
Di sisi yang lain, Imam Ghazali juga mencoba “menyajikan” tasawuf
dengan bahasa yang filosofis dan, mungkin, ditujukan kepada orang-orang
yang memiliki kecenderungan dan kegemaran pada filsafat. Ini terlihat
dalam kitab-kitab seperti Misykat al-Anwar dan Kimiya’ al-Sa’adah. Dalam
karya-karya yang terakhir ini, tasawuf disuguhkan Imam Ghazali bukan
sebagai laku-tariqat, tetapi laku-refleksi. Ini adalah “tasawuf falsafi”
(“philosophical mysticism”).
Jika dalam Tahafut al-Falasifah
Imam Ghazali menyerang filsafat, dalam Misykat al-Anwar dia justru
banyak menggunakan pendekatan filsafat ala Ibn Sina dalam menelaah
tema-tema tasawuf. Bagian dari Imam Ghazali yang “filosofis” ini memang
kurang populer di kalangan Muslim Sunni. Yang lebih disukai oleh umat
Islam, dari dulu hingga sekarang, adalah Imam Ghazali yang “mystical”.
Al-Ghazali al-mutasawwif, bukan al-Ghazali al-failasuf.
Bahwa
Imam Ghazali bergerak di antara dua dunia –dunia tasawuf dan dunia
filsafat—kurang banyak disadari oleh mayoritas umat Islam sekarang.
Tetapi ini semua bisa dimengerti, terutama jika ditelaah dari sudut
sosiologis. Agama yang paling menarik bagi “the commoners”, orang-orang
yang disebut oleh Imam Ghazali sebagai al-‘awam, adalah agama-hati,
agama yang menyentuh emosi. Inilah jenis agama yang kerap disentuh oleh
para da’i-selebriti yang sering kita lihat di layar TV. Saya mengatakan
hal ini bukan dengan tujuan untuk mencemooh. Secara faktual-sosiologis,
di era manapun, agama jenis inilah yang paling dominan. Kita tak boleh
menolak fakta ini. Sebab, kata penulis NU Mahbud Junaidi, fakta harus
dijunjung melebihi mertua! Hehehe...
Sementara agama-filosofis
yang memakai pendekatan filsafat, sangatlah sedikit menarik minat
orang-orang ramai. Sebab agama semacam ini tak menyentuh hati dan emosi.
Yang disentuh oleh agama-filosofis adalah rasio, otak. Ini adalah agama
yang kering-kerontang, tak menerbitkan rasa haru dan daya-gugah. Tak
bisa bikin kita menangis sesenggukan.
Yang dibutuhlan oleh publik
umum adalah agama yang menggugah. Inilah yang menjelaskan kenapa
karya-karya Imam Ghazali yang paling populer adalah Ihya’ Ulum al-Din.
Alasannya sengat jelas. Karya seperti ini menyentuh hati, menggerakkan
emosi, dan menimbulkan rasa haru yang mendalam.
Tetapi Imam
Ghazali sendiri bukan sosok yang sepenuhnya mono-dimensional, satu sisi
saja. (Mana ada manusia yang mono-dimensional, kecuali mungkin dalam
analisa Herbet Marcuse yang terkenal itu: One Dimensional Man?). Dalam
diri Imam Ghazali ada dua tarikan sekaligus: tarikan etis, dan dari sini
lahir karya-karya tasawuf suluki; dan tarikan filosofis. Dari tarikan
yang terakhir inilah lahir karya seperti Misykat al-Anwar.
Dengan kata lain: sosok Imam Ghazali bukanlah tunggal. Ada dua Imam
Ghazali. Imam Ghazali pengarang Ihya’ dengan kecenderungan tasawuf etis
yang kuat; dan Imam Ghazali pengarang Misykat dengan kecenderungan
filosofis yang lebih menonjol.
Kalau mau, Anda bisa memakai
istilah-istilah berikut ini. Ada dua Imam Ghazali – Imam Ghazali yang
puitis dan Imam Ghazali yang prosais. Atau Imam Ghazali yang liris, dan
Imam Ghazali yang epis. Anda bisa menciptakan istilah-istilah lain untuk
menggambarkan sosok Imam Ghazali yang kompleks ini.
Mari kita membaca Fatehah untuk imam besar dari Khurasan ini.***
Jakarta, 24 Juli 2016
Sumber Dari facebook Ulil Abshar Abdalla
KESAKSIAN HARIS AZHAR (KONTRAS)
"Cerita Busuk Dari Seorang Bandit"
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)
Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah
pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya
untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang
seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam
menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba
yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi
kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.
Di
tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya
berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye
pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi
gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa
Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan
bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus
rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan
John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus
Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana
WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).
Saya
patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu),
yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar
pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan
disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan
sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak
hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping
kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil
sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata
tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya
membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua
kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan
sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering
berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi
Freddy Budiman tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga muncul
pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi
Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas
“kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab
oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu
pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang
berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu
menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua
pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam,
tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.
Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati
karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan.
Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.
"Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala
besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya) ada
di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain
(atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang
saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa
harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 –
300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:
“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina. Makanya
saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya
telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang
nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak. Selalu
saya okekan. Kenapa Pak Haris?”
Fredy menjawab sendiri. “Karena
saya bisa dapat per butir 200.000. Jadi kalau hanya membagi rejeki
10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu
tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 miliar, barang saya datang. Dari
keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah
pejabat di institusi tertentu.”
Fredy melanjutkan ceritanya.
“Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika
saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya
disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual
bebas. Saya jadi dipertanyakan oleh bos saya (yang di Cina). 'Katanya
udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau
ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”
Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya
ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya
dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di lapangan.”
Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana
orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja
menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya
sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya
menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di
samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai
Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba.
Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.
"Saya prihatin dengan
pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk
mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya. Saya bilang,
investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang
paham, korut apa korsel- HA). Saya siap nunjukin dimana pabriknya. Dan
saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang).
Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada
petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu,
sehingga kami pun kembali.
"Saya selalu kooperatif dengan petugas
penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya
saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya
saya bukan kabur. Ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari
kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun
saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut
butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya
tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1
miliar dari harga yang disepakati 2 miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika
saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi
beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya
ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras
saya.”
Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak
terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer
narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang
melindungi.
Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini?
Lalu Freddy menjawab: “Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau
bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak
Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi
saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca
saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”
Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut
tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang
tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan
informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat
negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari kontak
pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di
internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan
siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk
mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy
Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus
tersebut.***
Haris Azhar (2016)
Link Berita: Facebook Mas Ulil Abshar Abdalla
SERI SEMBARANGKALIR #4 =======================
NGONO YA NGONO NING AJA NGONO: Tentang etika kaum awam dan khawas
Menjadi orang awam dan menjadi orang khawas, masing-masing memiliki
etika sendiri-sendiri. Yang saya maksud dg etika di sini adalah aturan
main untuk bersikap dan berprilaku. Jika masing-masing pihak konsisten
mengikuti etika ini, insyaallah tak akan terjadi kekisruhan sosial yang
kurang perlu.
Orang awam di sini saya maksudkan sebagai mereka
yang tak menguasai bidang tertentu. Sementara orang khawas adalah
sebaliknya: mereka yang memiliki keahlian itu.
Kategori awam dan
khawas bukanlah kaku dan beku, melainkan cair dan dinamis. Ada
orang-orang yang khawas dalam bidang tertentu, tetapi awam di bidang
yang lain. Ada seseorang yang ilmunya mencapai level doktor dalam bidang
fikih, tetapi nol besar dalam bidang fisika. Kita bisa menyebut: orang
bersangkutan adalah khawas atau "expert" dalam bidang fikih, tetapi awam
belaka dalam bidang fisika. Et cetera, et cetera.
Tak ada ada
orang yang "khawas" dalam semua bidang. Tetapi ada orang-orang tertentu
yang bisa saja awam dalam semua bidang. Pada umumnya, orang adalah
khawas di bidang tertentu, awam di bidang lainnya. Di era spesialisasi
sekarang ini, nyaris sulit mencari seorang ensiklopedis (mausu'i) yang
tahu mengenai semua bidang.
Kembali ke pokok soal: perihal etika orang khawas dan awam.
Jika terjadi suatu perdebatan dalam isu tertentu yang membutuhkan
keahlian yang spesifik, etika yang sebaiknya diikuti oleh orang awam
adalah: jangan ikut campur terlalu jauh, apalagi melakukan pemihakan
pada salah satu pihak dengan cara-cara "politis". Biarkan orang-orang
khawas, orang-orang yang ahli, berdebat mengenai isu itu hingga tuntas.
Kaum awam sebaiknya menonton saja, sambil menunggu hasil akhirnya.
Boleh saja memihak salah satu kubu dalam perdebatan itu, tetapi orang
awam harus tahu diri akan keawamannya. Jangan memihak terlalu jauh,
emosional, hingga hilang kontrol-diri dan menuduh pihak lain sesat,
kafir, murtad, dsb.
Orang awam harus tahu filosofi Jawa yang
terkenal itu: "ngono ya ngono ning aja ngono". Begitu ya begitu, tetapi
mbok ya tahu batas. Filosofi ini sangat penting diingat oleh kaum awam,
apalagi di zaman ketika kecenderungan "takfir" berkecambah saat ini.
Kaidah ini penting dipegang ketika perdebatan masuk ke perkara yang
dari sono-nya memang sudah sensitif dan mudah memantik api emosi.
Misalnya soal-soal agama. Saya kerap melihat orang-orang awam yang
sebetulnya ndak tahu duduk-berdirinya suatu masalah, lalu ikut-ikutan
"ngeblok" (=berpihak) salah satu kubu yang sedang berdebat, seraya
memaki-maki kubu lain.
Orang semacam ini bisa kita sebut sebagai
orang awam yang "geblek", ndak tahu diri. Mengutip istilah Imam Ghazali,
mereka ini adalah orang "bodoh kwadrat" (jahl murakkab). Yaitu, orang
bodoh yang ndak sadar bahwa dirinya bodoh. "Jahilun la yadri, wa la
yadri annahu la yadri".
Oke, itu adalah etika orang awam. Lalu, apa etika orang khawas?
Orang khawas yang memiliki keahluan di bidang tertentu sebaiknya tak
sering-sering mengobral hal-hal "sensitif" yang tak seharusnya
dikemukakan kepada publik yang tak terlalu menguasai masalah. Jika
orang-orang khawas mau berdebat tentang hal-hal spesifik, dan apalagi
sensitif, sebaiknya mereka lakukan hal itu dalam lingkungan "akademis"
yang terbatas.
Itu etika yang pertama. Saya hendak menyebutnya
sebagai "ethics of space". Etika ruang. Apa yang disebut sebagai ruang
publik yang terbuka, ruang yang biasanya dihuni oleh publik yang awam,
sebaiknya disikapi secara hati-hati dan bijaksana oleh kaum khawas.
Seperti kata pepatah Arab, "li kulli maqamin maqal" -- setiap konteks memiliki jenis pembicaraan yang cocok untuknya.
Etika kedua: kaum khawas jangan sekali-kali melakukan "politisasi" atas
perdebatan yang berlangsung secara terbatas di lingkungan akademis.
Yang saya maksud dengan "politisasi" di sini adalah membawa perdebatan
yang semula hanya untuk kaum spesialis kepada orang awam, serta
memprovokasi pihak yang terakhir ini agar mendukung posisi dia.
Contoh yang relevan untuk kita sekarang: membawa debat akademis ke
mimbar Jumat, lalu dengan cara-cara "kotor" memprovokasi jamaah Jumat
yang sebagian besar adalah awam untuk memihak kubu tertentu, seraya
memaki dan mengkafirkan pihak lain.
Politisasi perdebatan semacam
ini biasanya dilakukan oleh kaum "demagog"
(al-khathabiyyun/al-sufistha'iyyun). Dalam segala bidang, kaum demagog
sangatlah berbahaya. Sebab tujuan mereka ini bukanlah mencari kebenaran
(al-haqiqah). Yang penting bagi mereka adalah dukungan massa
sebesar-besarnya. Kaum demagog hanya peduli dengan "kebenaran politis".
Jika masing-masing pihak tahu etika ini, dan tidak bertindak
sembarangan, maka kegaduhan sosial yang sering kita lihat selama ini
relatif bisa dihindari.
Para filsuf Muslim klasik menyadari
benar pentingnya etika semacam ini. Inilah yang menjelaskan kenapa para
filsuf Muslim di era klasik dulu menulis karya-karya filosofis dalam
bahasa yang susah dipahami oleh awam.
Menurut Leo Strauss,
seorang filsuf Amerika yang banyak mengkaji pemikiran Al-Farabi dan
Maimonides (filsuf Yahudi dari Spanyol yang hidup sezaman dengan Ibn
Rusyd), gaya menulis yang "gelap" dan sulit dipahami itu bukan
kebetulan, melainkan "tindakan etis" yang disengaja oleh para filsuf
itu.
Kenapa?
Tujuannya, kata Prof. Strauss, agar orang
awam yang tak menguasai masalah menyingkir dari naskah-naskah para
filsuf itu. Sebab, mereka tak menghendaki teks mereka dibaca oleh para
pembaca yang tak kompeten, lalu menimbulkan salah paham, mungkin juga
kontroversi. Kata-kata penyair Chairil Anwar yang terkenal dulu, mungkin
layak disitir di sini: Yang bukan penyair, menyingkir!
Dalam
bahasa digital sekarang, gaya menulis yang gelap dan sulit pada para
fulsuf Muslim klasik seperti Al-Farabi dan Ibm Sina itu adalah semacam
teknik enkripsi.
Ulasan yang menarik mengenai ini bisa dibaca
dalam buku Prof. Leo Strauss yang sudah klasik: Persecution and the Art
of Writing (terbit pertama kali pada 1952).
Sungguh bijak sekali
para filsuf Muslim klasik itu! Intinya: Baik orang khawas maupun orang
awam memiliki tanggung-jawab sosial masing-masing.***
Jakarta, 29 Juli 2016
Selesai sudah konferensi ulama internasional yang diselenggarakan dipekalongan. tapi ada pendapat dari ulama asal lebanon beliau adalah Syekh Usamah Abdurrazzaq Ar-Rifa’i menjadi
pemateri dalam sesi pertama Konferensi Ulama Internasional bertajuk
Bela, Rabu (27/7) Hotel Santika Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam sesi ini,
Syekh Usamah membawakan materi tentang Persatuan dan Resolusi Konflik
Antar-Umat Islam.
Adapun Ruang lingkup
pembahasannya, yaitu konsep dan hukum syar’i persatuan antar-umat Islam,
bahaya perpecahan dan menyikapi khilafiyah antar umat Islam, antisipasi
terhadap faktor-faktor penyebab perpecahan, dan permusuhan antar umat
Islam.
“Ada lima faktor persatuan bagi umat Islam saat ini. Pertama, dengan mengedepankan aspek-aspek ushul, tidak sibuk dalam perkara-perkara khilafiyah. Kedua, menumbuhkan rasa cinta tanah air,” ujarnya.
Ketiga, tambahnya, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam berbangsa. Keempat, semangat kebersamaan bersama Ahlussunnah wal Jamaah sebagai kelompok terbesar umat Islam.
“Kelima, meninggalkan
kebiasaan menghakimi mereka yang berbeda paham dan aliran. Selain itu,
saya mengusulkan agar kita selektif dalam penyiapan para dai (penyeru
agama Islam). Harus ada kriteria yang jelas, berkompeten, terkualifikasi
dengan sanad keilmuan yang sahih. Jangan sampai semua orang bebas
bicara menyampaikan isi Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah tanpa ilmu,”
papar Syekh Usamah.
Ratusan peserta konferensi
yang memadati ruangan diskusi begitu antusias mengikuti pemaparan Syekh
Usamah terkait problem dunia Islam saat ini. Hotel Santika Pekalongan
merupakan tempat khusus diadakannya pemaparan materi dari para ulama
internasional. Sedangkan penyampaian materi oleh ulama nasional digelar
di Aula Gedung Djunaid Pekalongan.
KH. Maemoen Zubair; Uang Mahar Nikah itu Berkah
Nasehat Mbah Kyai Maemoen Zubair buat cowok-cowok yang masih jomblo dan hendak nikah:
"Nak, kamu kalo nikah usahakan
mahar istrimu yang banyak walaupun calon istrimu cuman minta mahar
seperangkat sholat, jika nggak punya uang kalo bisa ya nyari-nyari dulu,
karena uang mahar itu berkah jika dipakai usaha, jadi nanti setelah
nikah kamu minta izin istri jika uang itu dipakai modal usahamu.
Insyaalloh nanti usaha kamu berkah."
Rasulullah Saw memberikan mahar senilai 500 dirham kepada Aisyah.
Setara dengan 50 dinar atau 200 gram emas atau sekitar 100 juta rupiah.
Pada zaman itu 1 dinar setara 10 dirham. Pada saat itu harga seekor
kambing hanya 5-10 dirham, jadi maharnya cukup untuk membeli 50-100 ekor
kambing.
Aisyah berkata,”Mahar Rasulullah kepada para isteri
beliau adalah 12 Uqiyah dan satu nasy”. Aisyah berkata,”Tahukah engkau
apakah nash itu?”. Abdur Rahman berkata,”Tidak”. Aisyah
berkata,”Setengah Uuqiyah”. Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar
Rasulullah kepada para isteri beliau. (HR. Muslim)
Saat menikah
dengan Khadijah ra. diriwayatkan bahwa Rasulullah memberi mahar 20 ekor
unta (nilainya setara 400-an juta rupiah). Sedangkan saat menikahi
Hindun (Ummu Habibah radhiyallahu’anha) diriwayatkan bahwa Rasulullah
memberikan mahar 4000 dirham (setara 800 juta rupiah),.
Saat
menikahi Shafiyah radhiyallahu’anha maharnya berupa pembebasan dirinya
dari perbudakan, meski tidak berwujud harta namun nilainya bisa ratusan
juta sampai milyaran rupiah (yaitu biaya normal penebusan budak agar
merdeka).
Jokowi Umumkan Reshuffle Kabinet: Harus Lebih Cepat, Solid, dan Saling Dukung
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Jakarta - Presiden Jokowi mengumumkan reshuffle kabinet jilid dua. Presiden mengungkapkan pertimbangannya melakukan reshuffle kabinet.
"Kita
harus memperkuat ekonomi nasional untuk menghadapi tantangan ekonomi
global dan sekaligus dalam persaingan dan kompetisi global," kata Jokowi
dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu (27/7/2016).
Jokowi didampingi Wapres JK, Mensesneg Pratikno, dan Seskab Pramono
Anung.
Jokowi mewanti-wanti agar kabinet yang baru bekerja lebih
keras lagi menyejahterakan rakyat. Reshuffle kabinet diarahkan untuk
penguatan kinerja pemerintahan.
"Kita harus membuka lapangan
kerja seluas-luasnya untuk rakyat, untuk mengurangi pengangguran,
meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Jokowi.
"Saya menyadari
tantangan terus berubah dan menghadapi kecepatan kita dalam bertindak,
kecepatan kita dalam memutuskan, kita harus bertindak yang langsung
dirasakan oleh rakyat yang langsung dinikmati oleh rakyat dalam jangka
pendek dan panjang," kata Jokowi yang mengenakan setelan jas hitam.
Jokowi
berharap kabinet baru dapat bekerja lebih cepat, progresif dan solid.
"Agar kabinet kerja bisa lebih cepat, progresif, bekerja dalam tim yang
solid, dan saling mendukung dalam waktu yang secepat-cepatnya. Atas
pertimbangan ini Presiden dan Wapres memutuskan perombakan kabinet yang
kedua," katanya.
Rabu, 27 Juli 2016 08:00 Habib
Luthfi mengatakan, tertib berlalu lintas di jalan raya adalah bentuk
nyata dari bela negara. Pasalnya, dengan tertib berlalu lintas, di
samping dapat menyelematkan diri sendiri juga dapat memperlancar
aktivitas di jalan raya.
Demikian dikatakan Rais Am Idarah Aliyah
Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdiyyah (Jatman) pada acara
ta’aruf peserta Konferensi Internasional Ulama Thareqah ‘Bela Negara’,
Selasa (26/7) di rumahnya Pekalongan, Jawa Tengah.
“Adalah
keliru, jika bela negara hanya diartikan dengan memanggul dan mengangkat
senjata, akan tetapi dengan tertib berlalu lintas di jalan raya, para
guru, para dokter, petani serta para ahli lainnya menjalankan tugasnya
dengan baik dan benar itu bentuk nyata dari bela negara,” ujarnya. (Baca juga: Tiap Tahun, Habib Luthfi Bantu Amankan Arus Mudik Lebaran)
Lebih
lanjut dikatakan, dirinya memberikan kata sambutan pada acara ta’aruf
yang dihadiri tamu-tamu dari luar negeri tidak menggunakan bahasa Arab
atau Inggris akan tetapi tetap menggunakan bahasa Indonesia adalah
bentuk kecintaan dirinya dan bela negara terhadap NKRI.
Sementara
itu Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI Jendral Purn. Ryamizad Ryacudu
dalam acara sambutan selamat datang peserta konferensi tersebut
mengatakan, akhir akhir ini ada beberapa orang dan sekelompok orang
salah mengartikan dalam menjalankan Islam dengan benar, akibatnya yang
terjadi adalah dirinya dan kelompoknya menjadi yang merasa paling benar.
Dikatakan,
jika hal demikian dibiarkan, maka yang terjadi adalah adanya friksi dan
pertentangan di antara umat Islam sendiri, padahal Islam tidak
demikian, Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang melindungi
pemeluknya maupun kelompok pemeluk agama lainnya.
Konferensi
Internasional Ulama Thariqah membahas bela negara yang diprakarsai
JATMAN dibuka hari ini di Gedung Juned diikuti delegasi ulama dari 40
negara dan 1.500 utusan ulama thariqah dari berbagai daerah di
Indonesia. Untuk pelaksanaan konferensi, pihak panitia membagi dalam dua
kelompok, yakni sebanyak 300 delegasi khusus dan tamu-tamu dari luar
negeri akan membahas masalah bela negara di Hotel Santika, sedangkan
delegasi lainnya dari berbagai daerah di Indonesia akan membahas dengan
topik yang sama bertempat di Gedung Juned hingga Jumat mendatang.
Berbagai
kegiatan penunjang seperti pawai merah putih, pentas musik ‘Debu’,
istighotsah, ta’aruf peserta konferensi dan istighotsah muslimat
thariqiyah ikut mewarnai kegiatan konferensi bela negara. Beberapa
narasumber yang direncanakan hadir antara lain KH Hasyim Muzadi, KH
Maemoen Zubair, Menpora Imam Nahrawi, H As’ad Said Ali serta beberapa
delegasi luar negeri ikut memberikan sumbangan pemikiran tentang bela
negara.
Sebagaimana diketahui, kegiatan yang sama pernah digelar
Jatman pada bulan Januari 2016 di Kota Pekalongan yang dihadiri ulama
ulama Timur Tengah serta mufti dari Amerika dengan menghasilkan Sembilan
rekomendasi.
sumber nu.or.id (Abdul Muiz/Mahbib)
Selain dikenal sebagai ulama
Nusantara abad ke-19 yang sangat anti terhadap pemerintah kolonial
Hindia Belanda, KH. Ahmad Rifa'i (1786-1870) Kalisalak, Batang, Jawa
Tengah menurut Karel A. Steenbrink dalam buku berjudul Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 juga
merupakan salah satu ulama yang sangat produktif dalam menulis kitab.
Steenbrink menilai Mbah Rifa'i pandai menulis dengan bahasa sederhana
yang mudah dipahamai tanpa memakai idiom-idiom Arab yang sulit.
Kitab-kitab agama yang ditulis Mbah Rifa'i dalam bentuk syair, puisi tembang Jawa, bentuk nastar dan nastrah ada sebanyak 65 judul. Sementara yang berbentuk Tanbih (semacam risalah singkat yang membahas satu topik) ada 500 karya dan terdapat 700 berupa nadzom
doa. Jumlah kitab tersebut yang ditulis sebelum kiai Ahmad Rifa'i
diasingkan ke Ambon Maluku, yaitu saat masih bermukim di Desa Kalisalak.
Disebutkan
oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996) selama hidup di pengasingan Ambon,
Ahmad Rifa'i ternyata masih tetap konsisten menulis. Hanya media
bahasanya beralih dari yang semula menggunakan bahasa Jawa, setelah di
Ambon menggunakan bahasa Melayu. Saat diasingkan di Ambon ini Kiai Ahmad
Rifai berhasil menulis empat judul kitab dan 60 buah judul Tanbih
berbahasa melayu tulisan arab pegon.
Secara umum kitab-kitab di atas mengupas tentang tiga bidang ilmu syariat Islam yang meliputi fiqih, ushuluddin dan tasawuf.
Tetapi
karena sebagian besar dalam kitab-kitab karya Kiai ahmad Rifai tersebut
juga memuat kritikan keras dan protes tajam yang dialamatkan kepada
pemerintah Hindia Belanda beserta para pengabdinya dari kalangan pegawai
pribumi, sekitar tahun 1859 kitab-kitab itu disita oleh pemerintah
kolonial Belanda dan sebagian dari hasil sitaan tersebut dikirimkan ke
negeri Belanda dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda.
Sartono Kartidirjo dalam bukunya Protest Movements in Rural Java
seperti dikutip oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996), menyebutkan
kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa'i yang masih disimpan di Universitas
Leiden Belanda antara lain:
1. No. 1139 Riayatal Himmah, tahun 1849 M
2. No 6944, Riayatul Himmah, tahun 1849 M
3. No. 5866, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
4. No. 11002, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
5. No. 11003, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
6. No. 8566, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
7. No. 6617, Nadzam Kaifiyah, tahun 1845 M
8. No. 7520, Tanbih Bahasa Jawa
9. No. 11004, Tanbib Bahasa Jawa
10. No. 7521, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
11. No. 8570, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
12. No. 8590, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
13. No. 7522, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
14. No. 11004, Takhyirah Mukhtasar 1848 M
15. No. 11004, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
16. No. 7523, Abyanal Hawaij, tahun 1849 M
17. No. 7524, Nadzam Irfaq, tahun 1845 M
18. No. 8489, Munawirul Himmah, tahun 1856 M
19. No. 5865, Athlab, tahun 1842 M
20. No. 8566, Nadzam Tazkiyah, tahun 1852 M
21. No. 8567, Tasyrihatal Muhtaj, tahun 1849 M
22. No. 8568, Syarihul Iman, tahun 1839 M
23. No. 8569, Tasfiyah, tahun1849 M
24. No. 11001, Bayan, tahun1839 M
25. No. 11001, Imdad, tahun 1845 M
26. No. 11004, Thariqat, tahun 1840 M
27. No. 8571, Tahshinah (memperbagus bacaan), tahun 1850 M
28. No. 11004, Tanbihun Bahasa Melayu, tahun 1860 M
29. No. 11001, Prose Epistle (?), tahun 1938 M
30. No. 11004, Lembar, 300 hal
31. Tanpa nomer, Shihhatun Nikah
32. Tanpa Nomer, Tajwid (ringkasan Tahsinah)
33. Tanpa Nomer, Nadzam Wiqayah.
M. Haromain,peminat kajian karya ulama Nusantara.
Disarikan dari: Ahmad Syadzirin Amin, Gerakan Syekh Ahmad Rifa'i dalam Menentang Kolonial Belanda, (Jamaah Masjid Baiturrahman, Jakarta Pusat: 1996)
Pati, NU Online Pesantren warisan Rais Aam
Syuriah PBNU Almaghfurlah KH MA Sahal Mahfudh meluncurkan ‘pesantren
takhassus Ushul Fiqh’ di aula Pesantren Maslakul Huda (PMH) Putra
Kajen-Margoyoso-Pati, Jawa Tengah). Dua narasumber yaitu
KH Aziz Yasin (sesepuh Kajen) dan Abdul Moqsith Ghozalie (dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta) hadir pada peluncuran yang berlangsung
Senin (12/1)tersebut. Dalam sambutannya selaku pengasuh PMH
Putra, KH Abdul Ghoffar Rozien mengatakan, pesantren ini akan
menindaklanjuti gagasan dan warisan ide Kiai Sahal. “Pesantren
takhassus ini merupakan upaya untuk menggali pemikiran dan meneruskan
ide Kiai Sahal tentang gagasan Fiqh Sosial. Saya berharap, pesantren
takhassus ini mencetak para santri yang tidak hanya menguasai ilmu hukum
Islam, dengan kepakaran di bidang fiqh dan ushul fiqh. Namun juga
menjadi penggerak masyarakat,” harapnya. Gus Rozien, sapaan
akrabnya, menambahkan, pesantren ini dikhususkan bagi para santri yang
sudah menguasai teks-teks keagamaan, namun membutuhkan pendalaman dalam
memahami Fiqih dan Ushul Fiqh. Sementara itu, Kiai Aziz Yasin
mengaku sangat senang dengan hadirnya program takhasus ini. “Saya merasa
senang sekali. Perasaan saya melambung dengan adanya pesantren takhasus
ini,” ujar Kiai Aziz bangga. Kiai Yasin kemudian mengisahkan tentang proses belajar dan perjuangan Kiai Sahal dalam mengembangkan gagasan Fiqh Sosial. Pembicara
lainnya, Abdul Muqsith Ghozalie, menegaskan bahwa pesantren takhassus
menjadi pilihan penting di tengah tantangan keagamaan mutakhir. Bagi
dia, gagasan Fiqh Kiai Sahal sungguh luar biasa. “Beliau sudah
memulai sejak dari pesantren, kemudian berlanjut di NU. Muktamar NU pada
1984 di Situbondo menjadi catatan sejarah tentang kiprah Kiai Sahal
dalam mengembangkan gagasan fiqh sosialnya,” ungkap Moqsith. Moqsith
menambahkan, perjumpaan dirinya dengan Kiai Sahal ketika pendirian
Ma’had Aly di Situbondo. “Waktu itu, Kiai Sahal bersama kiai-kiai
lainnya, menjadi perumus pendirian Ma’had Aly di Pesantren Situbondo.
Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi pendirinya, yang kemudian sistem
pengelolaan dan kurikulum diserahkan kepada kiai-kiai PBNU,” paparnya. Pesantren-pesantren,
lanjut Moqsith, sudah saatnya merintis kajian spesifik. “Apa yang
dilakukan oleh PMH sudang sangat tepat. Sekarang ini memang dibutuhkan
pakar hukum Islam yang tidak hanya menguasai teks, namun juga mengerti
konteks. Tak kalah penting, intelektual muda NU ini dapat merumuskan
jawaban atas tantangan keagamaan masa kini,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)
dikutip dari website nu.or.id
Madrasaha Tsanawiyah AN-NUR Kota Cirebon
yang diresmikan pada tanggal 18 Agustus 1993, dibawah Naungan Yayasan
Pendidikan dan Da’wah Islam Jagasatru (YPDIJ) yang didirikan oleh Habib Muhammad
Bin Syekh bin Abu Bakar Bin Yahya. Merupakan salah satu wahana Lembaga Pendidikan
yang Bernuansa Islami yang siap mencetak generasi yang Berakhlakul karimah, Berwawasan
luas, Terampil, dan Berprestasi. Begitu pula dengan tenaga pengajar di MTs AN-NUR
Kota Cirebon merupakan Lulusan Pondok Pesantren, S1 Perguruan Tinggi Negeri, Swasta
di Dalam Negeri dan Luar Negeri.
System Pendidikan yang diggunakan
mengacu kepada Kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013 dengan Memadukan Kurikulum dari
Kementerian Agama dan Pondok Pesantren.
Mata pelajaran yang akan
diberikan kepada peserta didik MTs AN-NUR Kota Cirebon meliputi : Ilmu
Pengetahuan Umum, Teknologi, Bahasa dan Muatan Local yang terdiri dari Kitab
Safinah dan Jurmiyah dengan jumlah waktu belajar 48 jam. Dengan demikian Insya Allah
Peserta Didik akan mampu menjadi Anak Sholeh yang Berakhlakul Karimah, Bersaing,
Terampil, dan Berprestasi Dibidangnya. Terimakasih
Pamflet PPDB MTs AN-NUR
VISI DAN ISI MTs AN-NUR KOTA CIREBON
VISI : Terwujudnya Madrasah yang mempu membentuk generasi muslim yang bertaqwa, berakhlak
mulia, menguasai IPTEK dan berdaya saing tinggi.
MISI :
Menciptakan lingkungan madrasah yang kondusif
menanamkan aqidah dan akhlakul karimah dalam kegiatan sehari-hari
membangun kemitraan dengan steakholder dalam membangun mutu layanan pendidikan
mengoptimalkan sarana dan prasarana pembelajaran
melaksanakan pembinaan dan bimbingan secara optimal
meningkatkan profesionalisme dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
MOTTO
"BERAKHLAKUL KARIMAH, TERAMPIL DAN BERPRESTASI "
FASILITAS
Bangunan bertingkat 2
Tersedia Infocus dan Sound Sistem disetiap kelasnya
LAB Komputer ber AC
Lapangan Olahraga
Free Hotspot Area
Perpustakaan yang nyaman dan komplit serta menggunakan sistem digital
WC bersih
EKSTRAKULIKULER
PRAMUKA
PASKIBRA
UKS - PMR
BTQ (Baca Tulis Al-Qur'an)
MARAWIS
QASIDAH
SEPAK BOLA
PENGEMBANGAN DIRI KOMPUTER DAN INTERNET
ENGLISH CLUB
MARKAZ LUGHOH ARABIC
MATEMATIKA CLUB
Brosur PPDB
JADWAL DAN TEMPAT PENDAFTARAN
JADWAL : 3 April s/d 3 Juli 2016
TEMPAT : Jl. Pangeran Drajat Karanganyar Jagasatru Selatan Kota Cirebon
ان الحمد لله الذي أوصل ألمقبلين إليه بفضله إلاالمراتب
العلية وبلغهم ببركة نبيه كل أمنية وصل الله وسلم على عبذالصالح القائم بمااستطاع
من حق الربوبية وعلى أله وصحبه خيرالبرية
MUQODIMAH
Alhamdulillah
wasukurillah kalimat itulah kiranya yang kami ucapkan seiring dengan rampungnya
lembaran ini yang awalnya sempat beberapa kali tertunda untuk kami susun dalam
bentuk BULETIN yang berisikan mutiara-mutiara hikmah dan ucapan-ucapan yang
sangat indah yang tidak kita ingin melewatkan begitu saja dari seorang da’iyah Ilallah
Al-Muballighoh Hababah Syarifah Nur Binti Muhammad Al-Haddar, yang rasanya
sayang jika ceramah beliau kita lewatkan begitu saja. Jika tidak diarsipkan
supaya menjadi kenang-kenangan yang bermanfaat, juga banyaknya permintaan dari
ibu-ibu, terutama ibu-ibu yang aktif dalam majelis ta’lim agar segera tersusun
secepat mungkin dari kalam beliau dan do’a-do’a yang dating dari rasulullah
yang beliau ajarkan kepada kami ketika itu di sore hari di aula pondok
pesantren jagasatru pada tanggal 28 desember 2010.
Kami sadar banayak
sekali orang yang gemar membaca tetapi yang menulis itu susah dicari, padahal
didalam al-qur’an kalimat كتب itu ditemukan sebanyak
319 kali baik dalam berbentuk dan perubahannya. Rasanya tidak salah kalau ada
penyair mengatakan :
ماكتب
قر وما حفظ فر
“ Apa-apa yang ditulis
akan menetap, dan apa-apa dihafal itu akan terlepas”.
Sebetulnya banyak yang
ingin kami sampaikan dalam muqodimah ini, tapi karena keterbatasan dalam
kemampuan kami dan kurangnya media, jadi kami hanya bisa menyuguhkan dalam
lembaran ini sekelumit mutiara ilmu yang disampaikan Hababah Nur yang menyentuh
hati dari bab iman dan cahaya yang meliputi iman dan bab menghidupkan maghrib
dan isya begitu juga adab makan dan adab-adab yang lainnya, yang akan anda
simak didalam buletin ini. Kami juga memohon maaf karena tidak bisa menampilkan
biografi Hababah Nur Al-Haddar, karena ta’aruf kami dengan beliau berlangsung
sangat singkat. Kami berharap mudah mudahan kunjungan beliau dibulan desember
ditahun tersebut bukanlah menjadi kunjungan yang pertama dan terakhir
bersambung di bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya.
Dan kami memetik ucapan
beliau serta mengamalkannya, karena hal itulah yang terpenting. Karena ilmu
apabila tidak diamalkan maka tidak membekas bagi yang punya ilmu dan ilmu itu
akan menjadi hujjah buat kita di hari kiamat kelak. Semoga Allah meridhoi kita
semua serta mengumpulkan kita bersama para syuhada dan sholihin dan beserta
pemimpin mereka dan pemimpin kita semua yaitu habibana wasayyidina Muhammad SAW..
Jika ada kesalahan dan
kekurangan dalam kata-kata, kami meminta maaf. Mudah-mudahan bermanfaat dan
diamalkan oleh para pembaca (insya Allah) saran dan kritik yang akan tertuju
pada kami akan menjadi obat buat kami agar lebih baik dan lebih maju lagi.
Akhirnya kami (team
penyusun) mengucapkan jazakumullah khoirul jazaa kepada semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan ini dan mudah-mudahan Allah membalas amal mereka
semua dengan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat kelak, Amiiinn ……
BAB AURAT
3 Dosa Besar
1.Membuka aurat
2.Bersentuh kulit
dengan orang yang bukan mahrom
3.Bermain sihir
Seseorang yang
ingin memandang wajah Allah di akhirat nanti, maka jagalah pandangan dari
apa-apa yang dilarang Allah untuk melihatnya
Wanita yang
cantik wajib memakai cadar sebagaimana wajibnya sholat. Adapun perempuan ang
dibolehkan keluar rumah dengan tidak memakai cadar, ada 3 syarat :
1.Wajahnya tidak
cantik
2.Tidak memakai
make up
3.Tidak
menimbulkan fitnah
Ketika seorang
perempuan keluar rumah hendaknya menggunakan pakaian hitam dan paling
ringan-ringannya, hendaknya perempuan menutup wajahnya ketika bertemmu dengan
lelaki yang bukan mahrom.
IMAN
ÀKeimanan seseorang
bisa berkurang dengan kemaksiatan -kemaksiatan, yang bisa mengurangi iman
diantaranya :
Àيبشر قلبAdalah
iman yang bisa menerangi dengan amalan - amalan yang baik.
ÀIman yang benar
dan tetap yaitu iman yang tidak ada habisnya, yakni tidak mati dan tidak kufur.
Maka perbanyaklah meminta hati kepada Allah dan do’anya sebagai berikut :
اللهم
إنا نسئلك إيمانا دائما يبشر قلبي
اللهم
إنا نسئلك يقينا صادقا ليس بعده كفرا
Dan
dia akan dibangkitkan dalam keadaan bercahaya, dan adapun do’anya sebagai
berikut :
اللهم
اجعل لي نورا في قلبي ونورا في قبرى ونورا في سمعي ونورا في لحمي ونورا في دمي
ونورا في عظامي ونورا في عصبي ونورا من بين يدي ونورا في خلفي ونورا عن يميني
ونورا عن شمالى ونورا من فوقي ونورا من تحتي. اللهم زدني نورا واعطني نورا واجعل
لي نورا برحمتك ياارحم الراحمين.
ÀHakikat islam
ialah apabila kita melakukan suatu syariat dan syariatnya sebagaimana yang
diajarkan oleh rasulullah.
Barang
siapa yang beramal dengan amalan-amalan yang diridhoi Allah maka ia akan mendapat keuntungan yang besar, begitupun
sebaliknya. Barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak diridhoi Allah
maka ia akan mendapat kerugian yang nyata.
AMALAN KETIKA ADZAN
ÃKetika
adzan berkumandang hendaknya kita mendengarkan dan menjawabnya, karena
keutamaan orang yang menjawab adzan mendapatkan pahala yang sama dengan orang
adzan diseluruh dunia. Dan kita hendaknya membaca do’a sesudah adzan, karena
salah satu waktu berdo’a yang di ijabah oleh Allah swt adalah setelah adzan dan
iqomah.
ÃDan
selesai dari membaca do’a setelah adzan, kemudian dilanjutkan dengan do’a
sebagai berikut :
رب
اغرلي ولوالدي ×5
اللهم
بارك لي في ذريتى وحفظهم ولا تضرهم ووفقنا ووفقهم وارزقنا برهم
ÃSunah
mengucapkan
مرحبابالقائلين
عدلا وبالصلاة مرحباواهلا
Barang
siapa yang membacanya maka akan ciberi ganjaran 1000 kebaikan dihapus 1000
dosanya dan diangkat 1000 derajatnya.
AMALAN SEBELUM DAN SESUDAH SHOLAT
¶Hendaknya kita
melakukan sholat isya dan shubuh dengan berjama’ah.
¶Hendaknya kita
melakukan shalat sunah ba’diyah 4 raka’at dan diakhiri dengan witir 3 raka’at,
dan ketika sebelum melaksanakan shalat shubuh hendaknya kita melakukan sholat
sunah fajar, karena sholat fajar mempunyai keistimewaan yang sangat besar
ركعتان
الفجرخيرمن الدنيا ومافيها
“
Dua raka’at shalat fajar itu lebih baik dari dunia dan seisinya ”
¶Dan shalat fajar
adalah salah satu perkara yang dapat mendatangkan cahaya. Adapun
perkara-perkara yang dapat mendatangkan cahaya diantaranya adalah :
·Qiyamul lail
dengan menangis karena Allah, istiqomah dan sholat sunah fajar. Karena shalat
fajar merupakan shalat sunah yang paling afdol dari shalat sunah rawatib yang
lain.
¶Dianjurkan untuk
kita membaca Al-qur’an sebelum sholat yang lima waktu, dan setelah shalat subuh
hendaknya kita tidak turun dari tempat sholat sampai terbitnya matahari untuk
melaksanakan shalat sunah isrok 6 raka’at.
¶Amalan yang
dilakukan di waktu maghrib adalah :
1.Menunaikan
sholat qobliyah dan ba’diyah maghrib
2.Menuanaikan
sholat sunah awwabin karena, karena sholat sunah awwabin itu pahalanya sama
dengan ibadah 12 tahun
3.Membaca
surat يس dan الملك maka akan terhapus
dosa-dosanya
4.Membaca
do’a
اللهم
اجرنا من النار ×7
¶Sebagian ulama
mengatakan makruh apabila membicarakan tentang dunia antara maghrib dan isya.
DZIKIR SHOLAWAT DAN DO’A
dAllah sangat
menyukai orang yang suka membaca shalawat, karena shalawat akan menjadikan
cahaya di kemudian hari dan dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh di dunia.
Dianjurkan pula untuk menghidupkan malam hari dan menteskan air mata, karena
berapa banyak maksiat dan dosa yang kita dapat.
قال
النبي اكثروا من الصلاة علي
“perbanyaklah
sholawatkepadaku”
اقربكم
مني منزلة في الجنة اكثركم صلاة علي
“paling
dekat-dekatnya kamu dariku kedudukan di surge adalah yang paling banyak
bersholawat kepadaku”
dBarang siapa
yang senantiasa membaca shalawat maka akan diselamatkan pada hari kiamat dan
dianjurkan membaca
لااله
الاالله الملك الحق المبين ×100
Setelah
dzuhur maka dia mendapat 2 kebebasan
1)Terbebas dari
faqir
2)Terbebas dari
siksa kubur
dApabila
seseorang telah selesai dari sholat dia tetap duduk untuk berdzikir kepada
Allah swt maka malaikat akan senantiasa mengusap kepala orang berdzikir
tersebut dan ketika ia bangun, maka senantiasa dosanya akan diampuni
dBerdzikir yang
paling utama لااله
الاالله karena dzikir mudah diucapkan, besar
pahalanya dan manfaatnya.
قال
النبي اكثروا من قول لااله الاالله
“Perbanyaklah
kalian mengucap lailahaillallah”
دائم
الذنوب ودواءه التوبه
“Penyakitnya
kalian adalah dosa dan obatnya adalah taubat”
dBarang siapa
yang beramal dengan suatu amalan yang diridhoi Allah, maka ia akan mendapat
keuntungan yang besar dan barang siapa yang beramal dengan amal yang tidak
diridhoi Allah, maka akan mendapat kerugian yang nyata.
dBarang siapa
yang membaca do’a sebagai berikut :
اللهم
انا نسئلك رضاك والجنة ونعوذبك من سخطك والنار
Maka
Allah akan memasukkannya kedalam surga dan tidak akan memasukkannya kedalam
neraka
ADAB MAKAN DAN MINUM
0Adab-adab
sebelum makan : hendaknya mencuci tangan dan membaca do’a, tidak berkata
sesuatu yang menghilangkan nafsu makan, menyembunyikan luka
0Ketika
makan hendaknya diselingi pembicaraan yang bermanfaat, tidak terlalu banyak
makan, mengunyah sampai halus, dan tidak mencela makanan.
0Ada
3 cara duduk ketika makan, sebagaimana yang di ajarkan rasulullah saw
1.Duduk dengan
cara iftirosy
2.Seperti duduk
ketika berhadapan dengan raja, yaitu dengan cara menduduki telapak kaki kiri
dan telapak kaki kanan dilipat berdiri di depan perut
3.Duduk dengan
cara mendirikan kedua kaki dan meletakkan lutut di depan dada
Duduk
seperti cara-cara diatas dapat menyempitkan lambung sehingga tidak banyak
makan.
0Ketika
kita makan bersama dalam satu wadah, hendaknya tidak mengambil atau memakan
bagian yang lebih banyak karena itu hal yang makruh. Dan ketika kita makan
bersama orang alim hendaknya tidak mendahuluinya bangun dari tempat makan
tersebut, maka tunggulah sampai orang alim tersebut bangun terlebih dahulu.
0Hendaknya
tidak meninggalkan do’a sebelum dan sesudah makan seperti do’a dibawah ini :
Do’a
sebelum makan
اللهم
بارك لنا فيما رزقتنا وارزقنا خيرا منه
Do’a
sesudah makan
الحمد
لله الذي اطعمنى هذاالطعام ورزقني من غير حول عني ولا قوة
0Adab-adab
minum : minum yang baik sebagaimana yang diajarkan rasulullah saw dengan cara
membaca basmalah sebelum minum dan sambil melihat air, lalu meneguk air dengan
satu tegukan saja dan setelahnya bacalah hamdalah teguk air kembali dengan satu tegukan
disudahi dengan بسم
ألله الرحمن الرحيم
dan meneguk lagi dengan satu tegukan kemudian membaca بسم
ألله الرحمن الرحيم
kemudian dari pada itu setiap tegukan diselingi dengan satu kali nafas. Setelah
itu jangan lupa membaca do’a setelah minum.
Adapun
do’anya sebagai berikut :
الحمد
لله الذي جعل هذاالماء عذبا فرتا برحمته ولا تجعله ملحا أجاجا لذنوبن
ADAB TERHADAP TAMU
ÆRasulullah SAW memerintahkan
kita untuk menghormati tamu, seakan-akan kita menjamu rasul. Siapa yang
menghormati tamu karena cinta pada rasulullah dan senang akan tamu, maka dia
akan senang menjamu tamunya dan akan disebut orang yang dermawan dan makanannya
sebagai obat.
ÆJika rasulullah
sedang bertamu dan diberi hidangan, rasulullah akan memakannya jika senang,
jika tidak rasulullah hanya diam. Itu menunjukan bahwa rasulullah tidak pernah
mencela makanan. Makanan itu mubah, jika kiat meniatinya untuk ibadah, maka
makanan tersebut akan menjadi sunah.